Saturday, November 27, 2010

My First Snow


Mungkin bagi orang seperti aku yang berasal dari daerah tropis, salju merupakan hal yang luar biasa. Jujur, sejak pertama tiba di US, salah satu hal yang paling ingin kulihat adalah "salju". Walaupun aku tahu salju itu hanya gumpalan bubuk-bubuk es yang turun dari langit, tapi melihat dan memegangnya merupakan salah satu pengalaman yang paling kunantikan, hehehe (Katro mode on).

Dan akhirnya, harapan itu terkabul...
Tepat di hari Thanksgiving, salju turun dengan derasnya. Aku tak menyianyiakan kesempatan untuk menikmati salju itu. Aku berjalan keluar apartment sambil memandang takjub melihat segalanya menjadi serba putih di luar sana karena tertutupi salju. Kulangkahkan kakiku di atas salju itu, rasanya seperti menginjak gumpalan es serut yang biasa dijual oleh tukang es campur di Makassar (hehehe...). Aku mengambil segenggam salju dengan tanganku "Wah, ini salju pertamaku! Alhamdulillah akhirnya aku bisa merasakan dan memegangnya langsung". Hampir 2 jam aku menghabiskan waktu di luar hanya untuk menikmati salju itu, berjalan di atas salju dan bermain snowballing :)

Saturday, November 20, 2010

Idul Adha di Bellingham

Idul Adha 1431 H adalah Idul Adha pertamaku yang sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Di sini, di Bellingham, sebuah kota di US dengan jumlah komunitas muslim yang sangat sedikit, aku di beri kesempatan merasakan Idul Adha dengan suasana yang sangat berbeda. Pertama, karena aku tidak merayakannya bersama keluarga besarku (Aku menangis saat itu). Kedua, karena suasana lebaranpun terasa tak semeriah di Indonesia. Tak ada sedikitpun suara takbir terdengar di sini, tak ada makanan-makanan khas lebaran, tak ada acara kurban. Semua terasa sangat berbeda. Walaupun begitu, aku tetap merasa senang karena bisa merayakannya bersama komunitas muslim yang ada di Bellingham. 

Hari itu, aku memutuskan untuk tidak masuk kuliah. Kupikir-pikir gak apalah, sekali doang, apalagi ini bukan perayaan biasa, ini Idul Adha, salah satu hari besar bagi kami umat Islam. Dan kebetulan saat itu, aku juga mendapat undangan untuk merayakan Idul Adha bersama komunitas muslim disini di Bellingham.

Tepat jam 8.30 aku dan beberapa teman muslim lainnya berkumpul di flag pole depan apartment. Saat itu, ada 2 mobil yang mengantarkan kami ke tempat shalat Id. Awalnya kupikir kami akan shalat di sebuah gedung yang mereka sebut sebagai "Masjid", tapi ternyata kami melaksanakan shalat Id di sebuah bangunan kecil dari kayu yang terletak di tengah taman yang luas. Ketika kami datang, di sana telah banyak orang yang duduk sambil melafazkan zikir. Aku terdiam saat itu sambil berucap dalam hati "Ya Allah terima kasih karena di hari ini Kau memberiku kesempatan merayakan Idul Adha bersama mereka saudara2 sesama muslim dari belahan dunia yang lain". 

Seusai shalat Id, kami duduk dan bersilaturrahmi satu sama lain. Banyak dari mereka yang belum pernah aku temui sebelumnya. Kebanyakan dari mereka berasal dari Pakistan, Mesir dan Arab Saudi. Senang rasanya bisa berkenalan dan ngobrol dengan mereka.

Tak sampai disitu saja. Tepat jam 2 siang, aku dan beberapa teman lainnya kembali mendapat undangan "Potluck" di rumah sebuah keluarga asal Pakistan. Rumahnya terletak di Blaine, kota yang berbatasan langsung dengan Kanada. Tak bisa kulukiskan bagaimana perasaanku berada di tengah-tengah mereka dan merayakan Idul Adha bersama mereka. Setidaknya ada tempat untuk berbagi kebahagiaan di hari itu, walaupun aku tetap merasa tak lengkap tanpa keluargaku.

Happy Ied Al-Adha...:)

Friday, October 8, 2010

My CIS Class


Pagi ini...masih dengan langkah yang sama aku berjalan menuju Baker Hall 102, ruangan yang akan menjadi kelasku selama Fall Quarter ini. Kulihat jam masih menunjukkan pukul 10.30,  sementara kelasku baru akan dimulai pukul 11.30. Aku cepat sejam rupanya. Kutatap koridor di Hall itu...hening...tak ada seorangpun yang lewat. Kutatap kelas itu dari luar. mmm...sudah 2 minggu aku belajar dikelas itu bersama beberapa orang Amerika tapi aku merasa masih kesulitan beradaptasi dengan cara belajarnya.

Aku ingat...pertamakali memasuki kelas itu, ada perasaan cemas dan canggung karena harus sekelas dengan mereka yang memang tinggal di Amerika, yang menggunakan bahasa Inggris sebagai First Language. Sementara aku...masih dengan bahasa Inggris yang belepotan dan listening skill yang pas-pasan, ditambah lagi, hanya ada 2 perempuan dikelas itu, aku dan seorang teman dari India. Saat itu aku merasa benar2 khawatir. Dalam hati, aku terus menyalahkan diri sendiri Siapa suruh ngambil IT? udah tahu susah…ngga ada dasar….tetap aja ngambil IT! Huft…Nasi sudah jadi bubur…tak ada kesempatan lagi untuk pindah jurusan.

Hari ini…tepat 2 minggu sejak hari itu, semua telah jauh berbeda. Yah…sekarang aku mulai menyukai kelas itu. Benar kata orang “tak kenal maka tak sayang”, karena sudah terbiasa dengan situasinya, akhirnya rasa nyaman itu aku dapatkan juga. Hampir setiap hari aku menjadi satu2nya siswa yang paling cepat datang, dan hampir setiap hari pula “Gary” Instructor-ku selalu tiba disana lebih awal. Tapi tak tahu mengapa hari ini…pintu kelas itu masih tertutup rapat dan lampunya belum dinyalakan.

Setelah menunggu selama 15 menit…akhirnya kulihat Gary berjalan menuju kelas dengan memegang kunci ditangannya. Kutatap laki-laki paruh baya itu…kalo diperhatikan tak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa ia adalah seorang teacher; selalu memakai celana jeans dan baju kaos lusuh yang hampir setiap hari dipakainya, ditambah lagi dengan rambut panjangnya yang selalu diikat. Diapun tersenyum dan menyapa “Hi Thya, you come earlier than me today”, aku hanya tersenyum sambil mikir bukannya emang murid yang harus selalu datang duluan daripada gurunya?...hehehe di sini malah terbalik…gurunya yang selalu datang lebih awal. Satu hal yang membuatku selalu ingin datang lebih awal, karena aku bisa punya kesempatan untuk berdiskusi dengan Gary soal tugas2 yang tidak kumengerti, tanpa perlu merasa risih dengan siswa lainnya.

Banyak hal yang kudapatkan selama belajar di kelas itu. Pertama, teman-teman sekelasku yang berasal dari berbagai umur dan dengan gaya yang bervariasi. Dari yang berumur 18 sampai 60 tahun ada di kelas itu, dari yang paling rapi sampai yang paling jorok, dari yang paling pendek sampai yang paling tinggi (hehehe…bukan aku lho yang paling pendek...^_^ ternyata ada yang lebih pendek dari aku), dari yang botak sampai yang gondrong, dari yang hitam sampai yang putih, ada yang tatoan juga, SEMUA ada di kelas itu. And see…! semua bergaul dengan sama rata…tak ada istilah tua dan muda. Aku bahkan salut dengan laki-laki yang berumur 60 tahun itu, walaupun rambut telah memutih, ngomong sudah dak jelas, tapi semangat belajarnya betul2 tinggi, dan tak pernah sedikitpun merasa risih berada diantara anak-anak muda di kelas itu. Salute for him.

Hal lain yang aku rasakan sangat berbeda adalah cara belajarnya yang lebih menerapkan sistem belajar mandiri. Instruktur hanya akan menulis tugas-tugas yang harus dilakukan di papan tulis, mulai dari Lab Activities, Case Projects, Real Problems exercises sampai Thinking Critically exercises. Selebihnya tugas siswa mengerjakannya sampai selesai dengan bantuan buku-buku yang tebalnya bukan main. And you know what? Instruktur hanya akan duduk dan menunggu sampai ada yang bertanya. Jadi kalo gak bertanya…susah sendiri. Gak ada tuh namanya disuapin melulu, guru menjelaskan di depan kelas panjang lebar sampai berbusa, sementara muridnya sibuk sendiri di belakang gak tau ngapain (hehehe…aku banget tuh dulu ^_^). Sangat berbeda….dan aku menyukai perbedaan itu. 

Ada satu lagi hal lagi yang membuatku nyaman berada di kelas itu, yaitu suasana belajar yang santai. Tak ada peraturan yang mengikat, gak boleh ini gak boleh itu. Bisa belajar sambil dengerin musik, browsing semaunya, bahkan boleh bawa bekal dan makan siang di ruangan itu, enak banget kan? hehehe....:) Awalnya sempat merasa heran melihat seorang teman membawa sepotong besar Pizza ke dalam kelas dan kemudian memakannya. Gary yang mungkin sadar kalo aku lagi terheran-heran melihat pemandangan itu, akhirnya datang dan menjelaskan kalo kita boleh bawa bekal dan makan siang di kelas itu, asal gak mengotori kelas katanya.

mmm...beda banget yah sama di Indonesia...^_^

Sunday, October 3, 2010

Jilbabku in Bellingham



Tak terasa akhirnya hampir 2 bulan aku berada di kota kecil ini, tempat dimana aku akan tinggal hingga 10 bulan kedepan.

Bellingham, kota kecil di daerah barat laut Amerika, dengan penduduk kurang dari 100.000. Hal yang membuatku takjub adalah karena bangunannya yang teratur, rumah-rumah dengan desain yang unik (menurutku), dan jalanannya yang sangaaat bersih. "Put your G in Bellingham" kata mereka, tapi sampai sekarang aku tak tahu maksudnya apa.

Anyway, hampir setiap hari aku berjalan menyusuri jalan-jalan disekitar Whatcom College, tempatku menimba ilmu, tentunya masih dengan jilbab yang selalu kukenakan.Mungkin terlihat aneh bagi mereka melihat seseorang sepertiku memakai jilbab, apalagi di daerah yang mayoritas Christian. Sampai saat ini hanya ada dua orang perempuan lainnya yang juga mengenakan jilbab, 1 mahasiswa asal Mesir dan 1 perempuan lagi asal Palestine.

Aku tak tahu apa yang ada dipikiran mereka ketika melihatku memakai jilbab, tapi satu hal yang selalu aku sadari bahwa setiapkali bertemu denganku, mereka melihatku dengan tatapan penuh tanda tanya, dan aku hanya akan berlalu begitu saja meninggalkan mereka dengan kebingungan mereka tentang jilbabku dan kebingunganku tentang apa yg mereka pikirkan.

Menjadi minoritas di Bellingham bukanlah hal yang begitu aku khawatirkan...karena sejauh ini, mereka masih bersikap baik dan ramah ketika bertemu denganku, setidaknya masih ada yang bersedia memberikan senyum indahnya.

Pernah satu waktu...aku dan beberapa CCIP students berjalan-jalan disekitar Fairhaven beach, salah satu tempat rekreasi di Bellingham. Tiba-tiba ada seorang gadis kecil berumur sekitar 4 tahun datang menghampiriku dari belakang dan langsung memegang jilbab yang aku kenakan sambil mengatakan "It's a nice scarf". Aku tersentak, kaget, sambil menoleh kebelakang aku melihat sosok polos itu tersenyum kepadaku. Kemudian ia mengatakan "It's a nicest scarf I've ever seenI like Blue, just like the ocean". Aku benar-benar takjub saat itu, anak berumur 4 tahun mampu berbicara seperti halnya orang dewasa, dan ia tidak melihatku sebagai orang yang aneh karena memakai jilbab di kepalaku...polos dan bersahaja, itulah anak-anak. Sempat berfikir, kenapa mereka tak melihatku dengan cara yang sama seperti anak umur 4 tahun melihatku? melihatku sebagai orang biasa dan tanpa pandangan negatif.

Bukan itu saja...pengalaman bersama jilbab ini pun bertambah, dan mungkin akan terus bertambah sampai aku pulang nanti:

Aku tinggal di lingkungan apartment yang juga banyak ditinggali oleh orang-orang Amerika. Aku punya tetangga...dua mahasiswa yang juga sedang kuliah di Whatcom College, aku lupa namanya.Umurnya sekitar 18 atau 19 tahun. Walaupun kami tinggal berdekatan, tapi sangaat jarang bertemu. Tapi pernah satu sore tak sengaja kami bertemu tepat di depan apartment...mereka menyapa "Hi, How are you doing", aku hanya bisa senyum dan menjawab "I'm doing well. Kemudian salah satu dari mereka bertanya, "do you like party?" dan aku menjawab "sometimes I like party but not really". Yang membuatku kaget adalah pertanyaan mereka setelah itu "May be we can go sometime, hang-out and drink. Aku termenung...melongo...kebingungan...What? mereka gak lihat aku pake jilbab gini...kok bisa ya ngajak aku minum. Dan akhirnya aku mulai menyadari sesuatu bahwa tak semua orang memandang jilbab ini sebagai sebuah identitas bahwa aku adalah seorang muslim, yang punya batasan khusus dalam bergaul dan bertindak, aku bahkan tak yakin mereka mengerti tentang Islam.

Ada satu cerita lagi yang membuatku tak mampu menahan tawa:

Siang itu, setelah jam pelajaran kedua selesai, aku memutuskan untuk tetap tinggal di Computer Lab bersama beberapa teman, mengerjakan beberapa tugas yang belum kuselesaikan. Kemudian ada seorang teman, laki-laki berumur 34 tahun bertanya kepadaku tentang beberapa tugas yang kurang begitu ia pahami, akupun menjelaskan sedikit yang aku tahu. Dan tiba-tiba, tak ada angin tak ada hujan, ia pun bertanya "Do you have cancer?", karena listening skillku yang masih kurang, aku tak begitu jelas mendengarkan pertanyaannya. "Pardon?" aku memintanya mengulangi pertanyaannya, "Do you have cancer?" (dengan pronounciation yang lebih jelas). Aku bingung, sempat terdiam beberapa detik dan kujawab "No." (ini orang kok nanya aku punya kanker atau ngga? gimana to?). Mungkin karena rasa ingin tahunya yang besar, ia bertanya lagi "So, do you have a problem with your hair?", dan kujawab "No" (ini orang kok pertanyaannya tambah aneh ya). "So why do you wear the headcover?". Dan akhirnya aku mengerti apa yang sebenarnya menjadi pertanyaannya...yah JILBAB ini, jilbab yang aku pakai. Saat itu aku hanya bisa menahan ketawa sambil memegang kepalaku (Jadi ni orang mikir aku botak ya?). Dan akhirnya aku kembali menyadari sesuatu dan bertanya dalam hati "berapa orang dari mereka yang berpikir aku mengidap kanker? jadi tatapan penuh tanda tanya yang selalu aku dapatkan itu, apakah karena mereka pikir aku mengidap kanker?

Jilbab ini ternyata diinterpretasikan dengan cara yang berbeda oleh mereka...

Monday, June 21, 2010

The Great Opportunity



Alhamdulillah Wa syukrulillah...


Akhirnya impian untuk belajar di negeri adi daya itu sebentar lagi menjadi kenyataan. Seperti mimpi rasanya bisa mendapatkan beasiswa itu, bersaing dengan ratusan pelamar dari seluruh Indonesia. Tapi aku selalu percaya bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik disaat yang tepat.

Aku ingat perjuangan beberapa bulan lalu itu,
Keliling sana-sini untuk mencari dosen yang sudi memberikan surat rekomendasi. Merasakan sesak dan panasnya kota Jakarta kala itu. Belum lagi harus berhadapan dengan beberapa dokter untuk Medical Check-up. Alhamdulillah semua usaha itu terbayar dengan hasil yang membahagiakan.