Monday, May 28, 2012

Dalam Diam


Jalanan itu semakin ramai oleh kendaraan. Jalanan itu kini bukan lagi tanah lapang seperti yang kulihat puluhan tahun yang lalu, sepi dan tak berpenghuni. Hiruk pikuk manusia yang lalu lalang dan mall megah yang dibangun disana, membuat jalanan itu hampir seperti pasar, penuh dengan manusia, angkutan umum, dan tentunya pengemis.

Setiap kali aku melewati jalanan itu, tak ada yang lebih menarik perhatianku selain anak-anak jalanan yang biasa mangkal disana. Aku bisa menebak umur mereka mungkin sekitar 3-8 tahun. Masih sangat muda untuk menjadi seorang peminta-minta. Miris melihat anak sekecil itu, yang seharusnya menikmati masa-masa kecil dan mengenyam pendidikan, harus turun kejalan mencari nafkah yang tidak seberapa dengan cara yang juga sangat tidak mendidik. Pernah satu kali seorang anak perempuan datang menghampiriku sambil menggendong adiknya yang kemungkinan masih berusia 3 tahun, meminta agar aku memberinya sedikit uang. Memelas dan sedikit memaksa, begitulah cara mereka mengemis. Kutatap kedua matanya. Tak ada kebohongan disana, yang ada hanya rasa takut yang tak bisa kupahami.

Bayangan anak-anak itu menari-nari dalam pikiranku bersama dengan pertanyaan-pertanyaan tentang mereka. Apakah mereka masih punya orangtua? Dimana mereka tinggal? Dan aku juga memikirkan bagaimana masa depan mereka ketika mereka tumbuh besar nanti. Apakah mereka akan terus menjadi pengemis atau takdir akan berbalik membuatnya menjadi seseorang yang hebat. We never know. Aku hanya berharap semoga mereka masih punya “mimpi”.

Kutengok seorang pemuda yang menjajakan koran tak jauh dari anak-anak jalanan itu. Kulitnya legam kecoklatan, rambutnya gondrong dan ada tumor yang membesar dibagian kanan wajahnya. Ia menawarkan koran kesetiap mobil yang ada disekitarnya, dengan sabar tanpa memaksa sedikitpun. Tak jarang kulihat ada tatapan iba dari orang-orang, tapi sesekali kulihat ada pula yang menatapnya jijik. Ia datang mendekatiku, mengangkat koran sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya, tanpa mengucapkan satu kata pun, berharap aku mau membeli koran itu. Tak mudah memang menjajakan koran dengan keadaan yang memprihatinkan seperti itu. Aku bisa melihat rasa sakitnya yang tertahankan, rasa malu yang berusaha ia sembunyikan, dan harapan yang tersisa dari matanya. Aku salut dengan pemuda itu. Dengan kondisi yang sesulit itu, ia masih berusaha untuk tetap bertahan hidup mencari nafkah dengan cara yang halal dan terhormat. Mungkin seperti itulah takdirnya. Tapi Tuhan selalu punya rencana yang tak kita ketahui. Dan untuk pertamakalinya dalam hidupku aku merasa menjadi orang yang paling beruntung dengan segala yang aku miliki sekarang. Rasa malu menjalar dalam tubuhku. Aku malu, malu dengan sikapku yang terkadang suka mengeluhkan hal-hal kecil, sementara mereka di jalanan bisa terus bersabar, berharap besok akan ada harapan bagi mereka untuk bisa bertahan hidup, itu saja.

Jalanan itu membuatku membisu...diam, menatap dalam ke arah anak-anak jalanan dan pemuda penjual koran itu. Aku berharap suatu saat nanti aku bisa melihat mereka dalam keadaan lain yang lebih baik.

Terima kasih telah membuatku tersadar.