Aku mengenalnya kurang lebih sebulan yang lalu di
koridor Heiner itu...
Tuesday, May 10th, 2011
Hari itu adalah jadwalku untuk ikut serta membantu
Steven (an Intern student) di Help Desk. Hanya ada enam orang saat itu: aku,
Ben, Tommy, Jay, Steven, dan Jeff. Dan hari itu adalah pengalaman pertamaku di
Help Desk. Hanya ada dua costumers yang datang untuk memperbaiki komputernya
saat itu. Steven dan Tommy-lah yang turun tangan menyelesaikannya. Yah, sebagai
junior aku hanya bisa melihat-lihat saja, aku tahu diri akan kemampuanku yang
masih nihil soal komputer. Tak lama, Gary pun datang bersama seorang lelaki
bertubuh tinggi dan besar dengan rambut gondrongnya yang ikal. Gary memanggilku
sambil berkata “Hi Thya, this is AWB, he is your tutor for the networking
class”. Ku tatap lelaki yang berdiri tepat di depanku itu sambil tersenyum. Dia
mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan “Hi, I am AWB (spelled Oubi), nice
to meet you”. Aku pun menjawab, “I am Thya, nice to meet you too”. Gary pun
meninggalkan kami berdua dalam kebingungan ingin mengatakan apa lagi setelah
itu. AWB pun mengajakku untuk duduk di sudut ruangan itu untuk membicarakan
jadwal tutor kami untuk sebulan ke depan. Dan kami pun sepakat untuk melakukan
tutoring pertama di hari Kamis. AWB kemudian mulai menanyakan aku berasal
darimana, aku pun dengan santai menjawab aku dari Indonesia. Dan seperti
jawaban orang-orang Amerika lainnya yang pernah menanyakan hal yang sama, AWB
pun tak tahu Indonesia di mana. Mmm...aku tak heran dengan hal itu. Kemudian ia
pun mulai bercerita bahwa ia sebenarnya berasal dari Baltimore, the largest
city in Maryland, dan baru pindah 2 tahun yang lalu ke Washington. Ku
perhatikan gerak-geriknya saat itu, jujur aku agak khawatir melihatnya.
Tangannya yang terus bergetar sambil memutar balikkan handphonenya, cara
bicaranya yang kadang cepat kadang lambat, dan matanya yang terus bergerak ke
kanan dan ke kiri. Saat itu kupikir, dia orang yang aneh. Well, whatever!
Thursday, May 12th, 2011
Kelas hari itu berakhir lebih cepat dari biasanya.
Aku dan AWB sepakat untuk melakukan tutoring pertama di hari itu tepat pukul
5pm. Aku pun menunggunya di koridor Baker Hall. Kulihat ia berjalan ke arahku
sambil memegang bungkus rokok ditangannya - “Hey Thya, can I go outside and
smoke for a minute?”. Yah tentu saja aku tak mungkin berkata tidak. Kulihat ia
dari balik pintu itu menghisap sebatang rokok. Ia sesekali menengok ke arahku
dan melambaikan tangannya. Setelah menghabiskan sebatang rokok itu, ia kembali
mendatangiku dan menanyakan tempat yang pas untuk mengajariku subnetting (hal
tersulit di kelas networking). Well, I have no idea, you are the tutor, so you
decide the spot, kataku. Ia mengajakku ke lounge room yang ada di Baker Hall,
tapi saat itu banyak orang yang sedang duduk dan belajar disana. Akhirnya kami
putuskan untuk belajar di luar, tepat di depan Syre Building. Ia pun mulai
menuliskan rumus-rumus subnetting yang menurutku sangat rumit untuk kumengerti.
Tiba-tiba ia berkata “You know Thya, it is the first time I write lots of numbers
on a paper”. Aku heran dan kemudian bertanya “What do you mean? I think you
have to do it every time you are dealing with subnetting”. Dia tertawa dan
menjawab “I never did it before, I usually just use my computer to do the
subnetting and assign the IP addresses”. Well, pantas saja saat itu tangannya
gemetaran saat menulis di atas kertas. Aku tak tahu sudah berapa tahun ia tak
menulis di atas kertas. Dan tutoring saat itupun berjalan cukup lancar dan
akupun mulai memahami sedikit tentang subnetting, setidaknya ada yang bisa
kupahami.
Tuesday, May 17th, 2011
Hari itu adalah tutoring kedua-ku bersama AWB. Masih
membahas soal Subnetting. Sesekali kulihat tangannya yang gemetaran itu. Aku
penasaran ingin menanyakannya. Kutahan rasa penasaranku itu karena aku tak
ingin ia tersinggung. Ia memberiku soal latihan untuk menentukan IP addresses
dari subnet yang ia tentukan. Mmm...susah! Aku pun menyerah. Tapi ia dengan
sabar kembali menjelaskannya. Tak terasa sudah satu jam aku dan AWB berkutat
dengan subnetting dan nomor-nomor itu. Cukup membuat kepalaku pusing. Kami pun
berjalan ke luar dari Baker Hall. Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.
Aku pun bertanya, “Hey AWB may I ask you something?”, dia pun menjawab “Sure”.
Saat itu aku agak ragu untuk menanyakannya tapi akhirnya kuberanikan diriku “I
noticed that your hands are always shaky, I am just wondering why that happens
all the time”. Dia menatapku beberapa saat, kemudian tersenyum - “Thya, it is
the effect of consuming too much drugs”. Aku tak heran, aku memang sempat
berpikir bahwa ia mungkin pemakai obat-obatan terlarang. Tapi ia sepertinya
bisa membaca raut wajahku, “Thya, I used to consume drugs, but not anymore”.
Aku pun tersenyum sambil berkata “Good then”.
Thursday, May 19th, 2011
Hari itu, tak ada tutoring session bersama AWB. Tapi
aku tak sengaja bertemu dengannya di depan Syre Building. Dia tiba-tiba datang
menghampiriku yang saat itu sedang duduk sendiri menikmati musik dari iPodku.
Sebenarnya saat itu aku sedang menunggu waktu untuk menghadiri panel-cultures
in transition yang pembicaranya adalah teman-temanku juga. AWB pun tertarik
untuk ikut. Aku cukup terkejut akan hal itu. Selama ini teman-teman sekelasku
yang mayoritas American dan laki-laki, tak ada yang peduli dengan kegiatan seperti
itu. Tepat pukul 4pm, panel diskusi itupun dimulai. Aku dan AWB duduk dibarisan
paling depan. Pembicara saat itu adalah teman-temanku yang berasal dari Mesir,
Turki, Maroko, dan Kamerun.Diskusi hari itu juga banyak membicarakan persoalan
agama. Kulihat ia begitu mendengarkan diskusi itu dengan serius. Mmm....aku tak
menyangka ia tertarik dengan hal itu, tapi aku bersyukur akhirnya ada satu
orang CIS student yang mau ikut menghadiri diskusi semacam itu.
--i--
Sejak saat itu, AWB mulai sering menanyakan masalah
agama kepadaku. Hal yang sama sekali tak berhubungan dengan Networking. Dia pun
mulai menceritakan kisahnya bahwa ia adalah seorang yang agnostic. Dia percaya
bahwa Tuhan itu ada, tetapi ia tak menganut salah satu agama yang ada. Dulu
sewaktu ia kecil, kedua orangtuanya bercerai dan hidupnya pun semakin tak
jelas. Ayahnya yang seorang katolik keras, dan ibunya yang seorang agnostic pun
tak ada yang memperdulikannya. Sejak ia duduk dibangku sekolah, ia tinggal
bersama ibunya yang juga seorang business woman yang cukup dikenal di
Baltimore. Tapi hidupnya tak pernah bahagia. Ia kemudian mulai berkarir sebagai
seorang DJ tanpa bayaran sedikitpun. Ia senang setiapkali orang-orang
memakainya sebagai DJ, entah di club malam ataupun di acara2 tertentu. Dan
sejak itu pula, ia mulai terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat. Ia
mulai mengkonsumsi obat-obatan dan akhirnya menjadi ketergantungan akan obat2an
itu. Ketergantungan itu membuat ia merasa menjadi “Black Sheep” dalam
keluarganya. Ia pernah 2 kali dipenjarakan karena masalah obat2an itu. Ia pun
beberapa kali pindah tempat tinggal hanya karena ibunya tak ingin menampungnya
begitu juga ayahnya. Bahkan ia pernah dipaksa tinggal di Youth Detention
Center, tempat anak-anak bermasalah. Aku mendengarkan ceritanya dengan serius,
ia pun menceritakannya dengan raut wajah sedih dan matanya yang berkaca-kaca.
Aku melihat penyesalan itu dari matanya. Ia sepertinya dalam kebimbangan besar akan
hidupnya. Dia sering menanyakan tentang Islam diikuti dengan
pertanyaan-pertanyaan kritisnya. Pertanyaan tentang Tuhan dan hal-hal lain yang
membuatnya tertarik seperti, mengapa orang islam dilarang memakan babi dan
meminum alkohol. Dan aku pun berusaha menjawabnya dengan jawaban yang sederhana
tapi bisa ia pahami, walaupun terkadang aku merasa ada beberapa hal yang sulit
untuk kujelaskan karena ia selalu membutuhkan jawaban yang logis dan rasional.
Ia begitu bersemangat mempelajari tentang agama-agama yang ada. Ia mengatakan
padaku bahwa sejak ia pindah ke Washington, saat itulah ia mulai mencoba
mempelajari kitab suci yang ada khususnya Bible dan Al-Quran. Akan tetapi ada
satu hal yang membuatku sedih karena setiap kali ia bercerita tentang kejadian
buruk yang ia alami, ia sepertinya selalu menyalahkan Tuhan. Pernah satu kali
ia mengatakan “To me God seems evil and cruel with all the stuff He does, and
then I also see Him as totally selfish because He just wants us to do as He
says, so He is kind of like Hitler to me”. Aku terkejut setengah mati
mendengarnya. Baru kali itu aku mendengar kalimat yang tajam dan kasar mengenai
Tuhan. Dan kulihat matanya seperti penuh dengan kemarahan. Aku sedih
melihatnya. Aku pun berusaha menjelaskan dengan baik tentang segala kebaikan
yang Tuhan berikan kepada kita manusia. Tapi sepertinya mindset-nya yang telah
terbentuk sekian lama adalah Tuhan tidak pernah menyayanginya. Ia seperti
seorang yang sedang mencari petunjuk. Kehidupannya yang berat dan penuh masalah
membawanya ke kota kecil ini dan mencoba menjadi seorang yang lebih baik. Dan
tak pernah ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik. Dan aku hanya bisa
mendoakan semoga Tuhan memberinya hidayah
Spring Quarter pun akhirnya berakhir, dan aku pun
akan segera di wisuda. June 11th , 2011 adalah hari tutoring terakhirku bersama
AWB. Sedih rasanya karena aku tak akan bisa bertemu dengannya lagi setelah itu.
Dan di hari terakhir itu, untuk kesekian kalinya ia kembali membuatku terkejut.
Ia menunjukkan satu video di Youtube yang judulnya tak pernah ku dengar
sebelumnya “Huntington's Disease”. Ku tonton video itu sampai selesai namun ia
tak juga berkata apa-apa.
Me : AWB what do you mean by showing me the video?.
AWB : Have you ever heard about Huntington?
Me : Nope (dengan wajah penuh tanda tanya)
AWB : That is a horrible disease that will kill me
someday
Aku terkejut!
Melihat penderitaan orang yang ada dalam video itu
saja sudah cukup membuatku merinding. Bagaimana mungkin ia punya penyakit
seperti itu, ia terlihat sangat normal dan sehat. Kupikir ia mungkin hanya
bercanda. Tapi tak kulihat senyum sedikitpun dari wajahnya. Ia sepertinya
serius. Ia pun menceritakan bahwa ayahnya memiliki penyakit yang sama, dan
penyakit itu menurun ke dia. Huntington adalah hereditary Disease yang
menyerang otak dan menyebabkan kelumpuhan. Penyakit itu hanya bisa didapatkan
dari gen orangtua yang juga menderita penyakit yang sama, dan sampai sekarang
obatnya belum juga ditemukan. Dan untuk kesekian kalinya ia menyalahkan Tuhan
“God is supposed to love us and protect us like we are His Children and He has
the power to prevent the terrible things but He doesn't, how can people think
He loves us?”. Dan seperti biasanya setiap kali ia memulai percakapan mengenai
Tuhan, adu argumen dengannya pun selalu terjadi.
--ii--
Bellingham, July 4th, 2011
Inilah ceritaku tentang AWB, seorang tutor dan juga
sahabat yang kukenal di hari-hari terakhirku di Whatcom. Seseorang yang
terlihat kuat tetapi lemah secara mental. Seseorang yang kritis melihat dunia
dari sisi kehidupannya, tapi tak pernah mencoba melihat dunia dari sisi
kehidupan orang lain yang mungkin jauh lebih menderita darinya. Seseorang yang
menganggap Tuhan tak pernah menyayanginya. Semoga Tuhan memberi petunjuk dan
Hidayah kepadanya. Aku bersyukur telah mengenalnya, aku jadi banyak belajar
tentang agama lagi sehingga aku bisa menjelaskannya dengan baik kepada AWB. Dia
juga membuatku lebih banyak bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan
kepadaku. Selalu ada hikmah dibalik setiap pengalaman, dan pengalaman bersama
AWB adalah salah satunya.
No comments:
Post a Comment