Tuesday, July 5, 2011

A Friend of Mine


Aku mengenalnya kurang lebih sebulan yang lalu di koridor Heiner itu...

Tuesday, May 10th, 2011
Hari itu adalah jadwalku untuk ikut serta membantu Steven (an Intern student) di Help Desk. Hanya ada enam orang saat itu: aku, Ben, Tommy, Jay, Steven, dan Jeff. Dan hari itu adalah pengalaman pertamaku di Help Desk. Hanya ada dua costumers yang datang untuk memperbaiki komputernya saat itu. Steven dan Tommy-lah yang turun tangan menyelesaikannya. Yah, sebagai junior aku hanya bisa melihat-lihat saja, aku tahu diri akan kemampuanku yang masih nihil soal komputer. Tak lama, Gary pun datang bersama seorang lelaki bertubuh tinggi dan besar dengan rambut gondrongnya yang ikal. Gary memanggilku sambil berkata “Hi Thya, this is AWB, he is your tutor for the networking class”. Ku tatap lelaki yang berdiri tepat di depanku itu sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan “Hi, I am AWB (spelled Oubi), nice to meet you”. Aku pun menjawab, “I am Thya, nice to meet you too”. Gary pun meninggalkan kami berdua dalam kebingungan ingin mengatakan apa lagi setelah itu. AWB pun mengajakku untuk duduk di sudut ruangan itu untuk membicarakan jadwal tutor kami untuk sebulan ke depan. Dan kami pun sepakat untuk melakukan tutoring pertama di hari Kamis. AWB kemudian mulai menanyakan aku berasal darimana, aku pun dengan santai menjawab aku dari Indonesia. Dan seperti jawaban orang-orang Amerika lainnya yang pernah menanyakan hal yang sama, AWB pun tak tahu Indonesia di mana. Mmm...aku tak heran dengan hal itu. Kemudian ia pun mulai bercerita bahwa ia sebenarnya berasal dari Baltimore, the largest city in Maryland, dan baru pindah 2 tahun yang lalu ke Washington. Ku perhatikan gerak-geriknya saat itu, jujur aku agak khawatir melihatnya. Tangannya yang terus bergetar sambil memutar balikkan handphonenya, cara bicaranya yang kadang cepat kadang lambat, dan matanya yang terus bergerak ke kanan dan ke kiri. Saat itu kupikir, dia orang yang aneh. Well, whatever!


Thursday, May 12th, 2011
Kelas hari itu berakhir lebih cepat dari biasanya. Aku dan AWB sepakat untuk melakukan tutoring pertama di hari itu tepat pukul 5pm. Aku pun menunggunya di koridor Baker Hall. Kulihat ia berjalan ke arahku sambil memegang bungkus rokok ditangannya - “Hey Thya, can I go outside and smoke for a minute?”. Yah tentu saja aku tak mungkin berkata tidak. Kulihat ia dari balik pintu itu menghisap sebatang rokok. Ia sesekali menengok ke arahku dan melambaikan tangannya. Setelah menghabiskan sebatang rokok itu, ia kembali mendatangiku dan menanyakan tempat yang pas untuk mengajariku subnetting (hal tersulit di kelas networking). Well, I have no idea, you are the tutor, so you decide the spot, kataku. Ia mengajakku ke lounge room yang ada di Baker Hall, tapi saat itu banyak orang yang sedang duduk dan belajar disana. Akhirnya kami putuskan untuk belajar di luar, tepat di depan Syre Building. Ia pun mulai menuliskan rumus-rumus subnetting yang menurutku sangat rumit untuk kumengerti. Tiba-tiba ia berkata “You know Thya, it is the first time I write lots of numbers on a paper”. Aku heran dan kemudian bertanya “What do you mean? I think you have to do it every time you are dealing with subnetting”. Dia tertawa dan menjawab “I never did it before, I usually just use my computer to do the subnetting and assign the IP addresses”. Well, pantas saja saat itu tangannya gemetaran saat menulis di atas kertas. Aku tak tahu sudah berapa tahun ia tak menulis di atas kertas. Dan tutoring saat itupun berjalan cukup lancar dan akupun mulai memahami sedikit tentang subnetting, setidaknya ada yang bisa kupahami.

Tuesday, May 17th, 2011
Hari itu adalah tutoring kedua-ku bersama AWB. Masih membahas soal Subnetting. Sesekali kulihat tangannya yang gemetaran itu. Aku penasaran ingin menanyakannya. Kutahan rasa penasaranku itu karena aku tak ingin ia tersinggung. Ia memberiku soal latihan untuk menentukan IP addresses dari subnet yang ia tentukan. Mmm...susah! Aku pun menyerah. Tapi ia dengan sabar kembali menjelaskannya. Tak terasa sudah satu jam aku dan AWB berkutat dengan subnetting dan nomor-nomor itu. Cukup membuat kepalaku pusing. Kami pun berjalan ke luar dari Baker Hall. Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku. Aku pun bertanya, “Hey AWB may I ask you something?”, dia pun menjawab “Sure”. Saat itu aku agak ragu untuk menanyakannya tapi akhirnya kuberanikan diriku “I noticed that your hands are always shaky, I am just wondering why that happens all the time”. Dia menatapku beberapa saat, kemudian tersenyum - “Thya, it is the effect of consuming too much drugs”. Aku tak heran, aku memang sempat berpikir bahwa ia mungkin pemakai obat-obatan terlarang. Tapi ia sepertinya bisa membaca raut wajahku, “Thya, I used to consume drugs, but not anymore”. Aku pun tersenyum sambil berkata “Good then”.

Thursday, May 19th, 2011
Hari itu, tak ada tutoring session bersama AWB. Tapi aku tak sengaja bertemu dengannya di depan Syre Building. Dia tiba-tiba datang menghampiriku yang saat itu sedang duduk sendiri menikmati musik dari iPodku. Sebenarnya saat itu aku sedang menunggu waktu untuk menghadiri panel-cultures in transition yang pembicaranya adalah teman-temanku juga. AWB pun tertarik untuk ikut. Aku cukup terkejut akan hal itu. Selama ini teman-teman sekelasku yang mayoritas American dan laki-laki, tak ada yang peduli dengan kegiatan seperti itu. Tepat pukul 4pm, panel diskusi itupun dimulai. Aku dan AWB duduk dibarisan paling depan. Pembicara saat itu adalah teman-temanku yang berasal dari Mesir, Turki, Maroko, dan Kamerun.Diskusi hari itu juga banyak membicarakan persoalan agama. Kulihat ia begitu mendengarkan diskusi itu dengan serius. Mmm....aku tak menyangka ia tertarik dengan hal itu, tapi aku bersyukur akhirnya ada satu orang CIS student yang mau ikut menghadiri diskusi semacam itu.

--i--

Sejak saat itu, AWB mulai sering menanyakan masalah agama kepadaku. Hal yang sama sekali tak berhubungan dengan Networking. Dia pun mulai menceritakan kisahnya bahwa ia adalah seorang yang agnostic. Dia percaya bahwa Tuhan itu ada, tetapi ia tak menganut salah satu agama yang ada. Dulu sewaktu ia kecil, kedua orangtuanya bercerai dan hidupnya pun semakin tak jelas. Ayahnya yang seorang katolik keras, dan ibunya yang seorang agnostic pun tak ada yang memperdulikannya. Sejak ia duduk dibangku sekolah, ia tinggal bersama ibunya yang juga seorang business woman yang cukup dikenal di Baltimore. Tapi hidupnya tak pernah bahagia. Ia kemudian mulai berkarir sebagai seorang DJ tanpa bayaran sedikitpun. Ia senang setiapkali orang-orang memakainya sebagai DJ, entah di club malam ataupun di acara2 tertentu. Dan sejak itu pula, ia mulai terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat. Ia mulai mengkonsumsi obat-obatan dan akhirnya menjadi ketergantungan akan obat2an itu. Ketergantungan itu membuat ia merasa menjadi “Black Sheep” dalam keluarganya. Ia pernah 2 kali dipenjarakan karena masalah obat2an itu. Ia pun beberapa kali pindah tempat tinggal hanya karena ibunya tak ingin menampungnya begitu juga ayahnya. Bahkan ia pernah dipaksa tinggal di Youth Detention Center, tempat anak-anak bermasalah. Aku mendengarkan ceritanya dengan serius, ia pun menceritakannya dengan raut wajah sedih dan matanya yang berkaca-kaca. Aku melihat penyesalan itu dari matanya. Ia sepertinya dalam kebimbangan besar akan hidupnya. Dia sering menanyakan tentang Islam diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan kritisnya. Pertanyaan tentang Tuhan dan hal-hal lain yang membuatnya tertarik seperti, mengapa orang islam dilarang memakan babi dan meminum alkohol. Dan aku pun berusaha menjawabnya dengan jawaban yang sederhana tapi bisa ia pahami, walaupun terkadang aku merasa ada beberapa hal yang sulit untuk kujelaskan karena ia selalu membutuhkan jawaban yang logis dan rasional. Ia begitu bersemangat mempelajari tentang agama-agama yang ada. Ia mengatakan padaku bahwa sejak ia pindah ke Washington, saat itulah ia mulai mencoba mempelajari kitab suci yang ada khususnya Bible dan Al-Quran. Akan tetapi ada satu hal yang membuatku sedih karena setiap kali ia bercerita tentang kejadian buruk yang ia alami, ia sepertinya selalu menyalahkan Tuhan. Pernah satu kali ia mengatakan “To me God seems evil and cruel with all the stuff He does, and then I also see Him as totally selfish because He just wants us to do as He says, so He is kind of like Hitler to me”. Aku terkejut setengah mati mendengarnya. Baru kali itu aku mendengar kalimat yang tajam dan kasar mengenai Tuhan. Dan kulihat matanya seperti penuh dengan kemarahan. Aku sedih melihatnya. Aku pun berusaha menjelaskan dengan baik tentang segala kebaikan yang Tuhan berikan kepada kita manusia. Tapi sepertinya mindset-nya yang telah terbentuk sekian lama adalah Tuhan tidak pernah menyayanginya. Ia seperti seorang yang sedang mencari petunjuk. Kehidupannya yang berat dan penuh masalah membawanya ke kota kecil ini dan mencoba menjadi seorang yang lebih baik. Dan tak pernah ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik. Dan aku hanya bisa mendoakan semoga Tuhan memberinya hidayah

Spring Quarter pun akhirnya berakhir, dan aku pun akan segera di wisuda. June 11th , 2011 adalah hari tutoring terakhirku bersama AWB. Sedih rasanya karena aku tak akan bisa bertemu dengannya lagi setelah itu. Dan di hari terakhir itu, untuk kesekian kalinya ia kembali membuatku terkejut. Ia menunjukkan satu video di Youtube yang judulnya tak pernah ku dengar sebelumnya “Huntington's Disease”. Ku tonton video itu sampai selesai namun ia tak juga berkata apa-apa.
Me : AWB what do you mean by showing me the video?.
AWB : Have you ever heard about Huntington?
Me : Nope (dengan wajah penuh tanda tanya)
AWB : That is a horrible disease that will kill me someday

Aku terkejut!
Melihat penderitaan orang yang ada dalam video itu saja sudah cukup membuatku merinding. Bagaimana mungkin ia punya penyakit seperti itu, ia terlihat sangat normal dan sehat. Kupikir ia mungkin hanya bercanda. Tapi tak kulihat senyum sedikitpun dari wajahnya. Ia sepertinya serius. Ia pun menceritakan bahwa ayahnya memiliki penyakit yang sama, dan penyakit itu menurun ke dia. Huntington adalah hereditary Disease yang menyerang otak dan menyebabkan kelumpuhan. Penyakit itu hanya bisa didapatkan dari gen orangtua yang juga menderita penyakit yang sama, dan sampai sekarang obatnya belum juga ditemukan. Dan untuk kesekian kalinya ia menyalahkan Tuhan “God is supposed to love us and protect us like we are His Children and He has the power to prevent the terrible things but He doesn't, how can people think He loves us?”. Dan seperti biasanya setiap kali ia memulai percakapan mengenai Tuhan, adu argumen dengannya pun selalu terjadi.

--ii--

Bellingham, July 4th, 2011
Inilah ceritaku tentang AWB, seorang tutor dan juga sahabat yang kukenal di hari-hari terakhirku di Whatcom. Seseorang yang terlihat kuat tetapi lemah secara mental. Seseorang yang kritis melihat dunia dari sisi kehidupannya, tapi tak pernah mencoba melihat dunia dari sisi kehidupan orang lain yang mungkin jauh lebih menderita darinya. Seseorang yang menganggap Tuhan tak pernah menyayanginya. Semoga Tuhan memberi petunjuk dan Hidayah kepadanya. Aku bersyukur telah mengenalnya, aku jadi banyak belajar tentang agama lagi sehingga aku bisa menjelaskannya dengan baik kepada AWB. Dia juga membuatku lebih banyak bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan kepadaku. Selalu ada hikmah dibalik setiap pengalaman, dan pengalaman bersama AWB adalah salah satunya.  

No comments:

Post a Comment